Berkaca pada era yang serba cepat ini, kemampuan literasi menjadi perjalanan panjang. Publik sendiri sebagai individu pengguna informasi harus memiliki penalaran dalam memahami dan mengolah informasi. Mereka (publik) harus memiliki literasi yang baik. “Agar tidak menjadi korban”. Bukan malah menjadi gagap dan sensitif terhadap informasi. Disini memang dibutuhkan peranan habit (kebiasaan) yang membawa satu perubahan akan “kepolosan bernalar”.
Jika bukan karena kepedulian kami terhadap masyarakat yang
sering dimanfaatkan oleh beberapa oknum dalam ‘literasi publik’, tentunya ini
sepertinya tidak sepadan dengan apa yang bisa kita dapatkan.
Harus Memiliki Literasi Yang Baik
Literasi dibangun dengan kebiasaan. Membangun kebiasaan literasi
dapat meningkatkan keterampilan dan ketajaman berpikir untuk mampu beradaptasi di
era informasi ini. Membaca berulang-ulang kali bisa menjadi kunci dalam
meningkatkan kemampuan berliterasi. “Setelah ku baca berulang-ulang kali, ku
bolak dan ku balik buku ini, ternyata ini toh maksudnya”.
Sumber bacaan dalam meningkatkan kepekaan literasi jangan
hanya terpaku pada satu jenis bacaan. Cobalah bacaan dari berbagai genre,
seperti: fiksi, non-fiksi, sains, sejarah, dan lain sebagainya. Apa pembuka
dari judul yang hendak disampaikan, apa saja isi pokok-pokok pikiran, dan apa kesimpulan
yang mereka tuliskan. Yang bisa jadi itu berbeda dengan kita si penerima
informasi. Ini menyangkut kepekaan literasi.
Kepekaan Literasi
Kemampuan literasi tidak hanya sebatas membaca, membaca, dan
memahami informasi secara pengertian. “Pengertian ini adalah!” Literasi yang
sesungguhnya juga menuntut kepekaan terhadap makna terdalam dan kontekstual
dari suatu teks.
Kepekaan untuk memahami pesan yang ingin disampaikan penulis
di balik kata-kata yang tertulis. Mempertimbangkan berbagai: sudut pandang dan
konteksnya, “Apakah ini sekedar copian atau Expert Judgment”, kredibilitas
sumber, dan menyadari bahwa setiap teks memiliki bias dan ideologi tertentu.
Kecukupan publik dalam memilah informasi secara objektif
yang dihubungkan antara informasi yang dibaca, pengetahuan dan pengalaman,
sehingga dapat memahami informasi dengan lebih mendalam.
Menjadi Korban Karena Literasi Yang Buruk
Individu dengan literasi yang buruk lebih mudah tertipu oleh
penipuan online, penipuan keuangan, dan penipuan lainnya. Pastinya lebih mudah
terpapar hoaks dan misinformasi serta sasaran empuk menipulasi.
Individu dengan literasi media yang buruk lebih mudah
terpapar konten ekstremisme dan kebencian dan menjadi korban kejahatan siber,
seperti peretasan, pencurian data, dan penipuan online.
Hal ini karena mereka mungkin tidak dapat mengidentifikasi
sumber informasi yang kredibel dan tidak dapat berpikir kritis tentang
informasi yang mereka terima. Mereka rapuh data, atau bisa jadi tidak
mengetahui cara melindungi diri mereka di dunia maya.
Habit Menjadi Jalan Yang Disosialisasikan
Sosialisasi ini bukan terkait urusan anggaran dan proyek
saja. Ini juga bukan bentuk dari mencari cara mengambil keuntungan dengan cara menyusun
kegiatan tahunan. Ini satu kewajiban bagai absen harian. Lalu,
Bagaimana mensosialisasikan habit literasi publik?
Datang dengan “Toa yang berisik” seperti penjual di pasar? Tentu
tidak. Ada beberapa hal yang menjadi catatan kami, misalnya:
Pertama, membangun kolaborasi multi-stakeholder.
Pemerintah, organisasi masyarakat sipil, komunitas literasi, dan media massa
harus bekerja sama dalam merumuskan strategi dan program sosialisasi literasi
yang efektif. Kolaborasi ini dapat dilakukan melalui berbagai platform, seperti
seminar, workshop, festival literasi, dan program edukasi online.
Kedua, memanfaatkan teknologi sebagai alat informasi dan
komunikasi. Media sosial, website, dan aplikasi edukasi dapat menjadi
platform yang efektif untuk menjangkau masyarakat luas. Konten edukasi literasi
yang menarik dan interaktif dapat dibuat dan disebarluaskan melalui
platform-platform tersebut.
Ketiga, melibatkan komunitas dan ketokohan. Komunitas
dan tokoh masyarakat memiliki peran penting dalam menyebarkan budaya literasi
di lingkungan mereka. Program literasi dapat dijalankan di komunitas, seperti
taman baca, kelas literasi, dan program literasi keluarga. Tokoh masyarakat
dapat menjadi role model dan inspirator bagi masyarakat untuk meningkatkan
minat baca dan literasi.
Keempat, menjadikan literasi sebagai budaya. Literasi
harus diintegrasikan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, mulai dari
pendidikan, keluarga, hingga komunitas. Program literasi dapat dijalankan di
sekolah, perpustakaan, dan tempat-tempat publik lainnya.
Kelima, meningkatkan akses terhadap bahan bacaan dan data.
Pemerintah dan organisasi terkait perlu menyediakan akses yang mudah dan murah
terhadap bahan bacaan berkualitas. Hal ini dapat dilakukan dengan membangun
perpustakaan, menyediakan e-book, dan mengadakan bazar buku.
Menuju Masyarakat Literat
Di era informasi yang penuh gejolak ini, literasi publik
bagaikan kompas yang menuntun kita menuju samudra pengetahuan dan kebenaran.
Namun, kompas ini takkan berfungsi tanpa habit, kebiasaan yang menjadi “fondasi
kokoh dalam mengarungi lautan informasi”. Habit membaca, menulis, dan berpikir
kritis bagaikan angin segar yang menggerakkan layar literasi kita, mendorong
kita untuk menyelami kedalaman makna dan melangkah maju dengan penuh keyakinan.
Jadikan habit sebagai komitmen, sebagai bara yang
membakar jiwa literasi. Ingatlah, habit kecil yang konsisten akan melahirkan
perubahan besar. Di tangan kita, habit literasi bukan lagi sekadar kebiasaan,
melainkan kunci untuk membuka gerbang masa depan yang gemilang, masa depan di
mana masyarakat literat menjadi pilar utama kemajuan bangsa.
Bersama, tanamkan habit literasi di setiap relung hati dan pikiran, ubahlah diri menjadi agen perubahan, dan ciptakan generasi penerus yang siap mengarungi ombak informasi dengan penuh kecerdasan dan kebijaksanaan. Literasi bukan hanya hak, tapi juga tanggung jawab. Marilah kita kobarkan api literasi, demi masa depan bangsa yang lebih cerah dan gemilang.
Salam Literasi - Saling Memahami
Posting Komentar