Pastinya kamu sering melihat bagaimana sosok orang tua bisa membuat aturan yang ketat didalam keluarga. Menganggap diri sebagai polisi rumah "bukan polisi tidur", selalu mengawasi setiap gerak-gerik sang anak. Namun, apakah pola asuh yang terlalu ketat ini benar-benar efektif? Haruskah mereka menjadi “Strict Parents” yang otoriter dalam mendidik anak?

Memang benar, orang tua sejatinya memiliki tanggung jawab besar bagi perkembangan diri si anak.

Mereka adalah sosok yang pertama kali mengenalkan dunia ini pada anak-anaknya. Setiap kata, air mata, tindakan, masakan favorit, umpatan, bahkan keputusan yang diambil orang tua, akan membentuk karakter dan kepribadian anak di masa depan. Memberikan kasih sayang, pendidikan yang baik, hingga menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman, semua itu menjadi impian semua orang tua di dunia. Tapi apakah HARUS menjadi “Polisi?”

 

Haruskah Orang Tua Selalu Menjadi "Polisi"

Ada banyak kata yang tak bisa diungkapkan ketika orang tua ‘begitu khawatir’ tentang: bagaimana anak menghadapi pergaulan dan lingkungan yang memang bagai hutan, penuh dengan predator ganas. Kecemasan, kekhawatiran, dan rasa takut seakan bercampur aduk menjadi satu, membuat hati mereka tak tenang.

Mereka ingin melindungi anak-anaknya dari segala bahaya yang mengintai, makanya mereka berubah 360 derajat menjadi ‘Polisi berdaster’. Namun disisi lain, mereka juga ingin memberikan kebebasan bagi anak untuk tumbuh dan berkembang, agar bisa menjadi pribadi yang mandiri dan membanggakan.

 

Apa Yang Terjadi Pada Anak Jika Kita Menjadi Strict Parents

Setiap tindakan yang kita buat, pasti ada akibat. Begitu juga ketika kita menjadi seorang Strict Parents. Orang tua mana sih yang tak ingin terbaik untuk anak-anaknya. Namun, terkadang keinginan untuk melindungi anak justru membuat kita menjadi terlalu ketat. Pola asuh yang terlalu otoriter ini dapat membawa hal yang kurang baik pada perkembangan anak, baik secara tingkatan emosional, sosial, maupun perilaku.

Apa dampak yang terjadi pada anak yang memiliki orang tua yang terlalu ketat?

 

1. Kecemasan dan Depresi

Mempunyai orang tua yang super ketat itu, paling-paling gak asyik, tauu. Semua yang kami lakukan takut menjadi ‘buruk’ dimata orang tua, bukan pemahaman tentang apakah itu baik, benar, etika, atau buruk yang sebenarnya. Pokoknya patokannya, “Apakah orang tua setuju atau tidak?” #ItuSaja.

Menakutkan jika sudah begitu. Untuk bersantai atau menikmati suasana rumah yang asri pun jauuh dari angan-angan. Bagai mimpi menuju surga kala menuju kematian. Akan selalu dan selalu merasa cemas. Bersantai? Jangan harap. Tak ada masa remaja yang indah. Itu hanya ada di film korea saja.

Selamat tinggal kebahagiaan

 

2. Kurang Percaya Diri

Lingkungan yang terlalu penuh dengan aturan dapat membuat anak merasa seperti robot yang harus selalu mengikuti perintah, tanpa ruang untuk bereksplorasi dan mengembangkan kreativitasnya. Percaya diri Jebool ke dasar.

Hukuman yang berlebihan pun, dapat meninggalkan bekas luka emosional pada anak, membuat mereka merasa tidak aman dan tidak dicintai. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang terlalu ketat seringkali kesulitan untuk membangun rasa percaya diri yang kuat, karena mereka selalu merasa bahwa mereka tidak cukup baik.

 

3. Kurang Pergaulan

Anak-anak yang terbiasa dengan lingkungan yang sangat terkontrol mungkin kesulitan untuk berinteraksi dengan orang lain. Mereka mungkin tampak pemalu, pendiam, atau bahkan agresif sebagai bentuk perlawanan.

Kurangnya pengalaman dalam berinteraksi dengan berbagai macam karakter manusia atau teman sebaya, dan juga situasi, membuat mereka merasa tidak nyaman dan kesulitan untuk membangun interaksi sosial. Maunya dikamar saja sembari mencari ‘sahabat semu’ di sosial media.

 

4. Perilaku Buruk

Ironis memang, pola asuh yang terlalu ketat justru dapat memicu masalah perilaku pada anak. Anak-anak mungkin menjadi “Troublemaker”, suka dengan hal-hal yang terkait pemberontakan, menjadi lebih malas melakukan sesuatu hal, terpaksa berbohong dan pada gilirannya ketagihan, atau bahkan melakukan tindakan kriminal sebagai bentuk protes terhadap aturan yang terlalu ketat, seperti: memukul teman tanpa sebab.

Ini adalah reaksi alami manusia terhadap pembatasan yang berlebihan. Pikirannya ingin berlari dari derita penjara. Ketika kebebasan dan kemauan mereka terus-menerus dibatasi, sang anak akan mencari cara untuk menegaskan diri dan mendapatkan kembali kendali atas hidup mereka.

 

5. Sulit Mengambil Keputusan

Sudah terbiasa dengan segala sesuatu yang diatur oleh orang tua, anak-anak akan kesulitan untuk mengambil keputusan sendiri. Sedikit-sedikit tanya. Hal yang mudah pun menjadi sulit bagi mereka. Mereka tidak mampu atau takut akan konsekuensi dari keputusan yang mereka ambil. “Takut dimarahin mama”.

Lingkungan yang terlalu terkontrol dapat membuat anak-anak merasa seperti boneka mainan yang digerakkan oleh orang lain, sehingga mereka kehilangan inisiatif dan motivasi untuk bertindak. Bayangkan seorang anak itu seperti tanaman yang selalu diikat pada penyangga. Ketika penyangga tersebut dilepaskan, eeekkk tanaman tersebut akan kesulitan untuk berdiri tegak sendiri.

 

6. Kreatifitas Lemah

Lingkungan yang terlalu terstruktur dan penuh dengan aturan dapat membatasi kreativitas anak. Mereka mungkin takut untuk mengeksplorasi ide-ide baru atau mencoba hal-hal yang berbeda. Ketakutan akan kesalahan dan keharusan selalu mengikuti aturan membuat mereka merasa terkekang dan tidak bebas bereksperimen.

Ketakutan akan kegagalan menjadi akarnya, dan dapat membuat mereka enggan untuk mencoba hal-hal baru dan unik, karena mereka takut akan penilaian negatif “dari kita si orang tua yang sok tau!”.

Kreativitas adalah kunci untuk inovasi dan kemajuan, Wooy.

Namun, jika lingkungan terlalu kaku lagi garing, maka: jangan harap akan ada satu pemikiran yang brilliant dari si anak, “Anakmu bakal jadi dongok” dan pasti menghambat perkembangan kemampuan diri pada meraka. Jadi, pantaskah kamu menjadi orang tua?

 

7. Daya Nalar Menurun

Aturan yang terlalu kaku, membatasi ruang bagi anak untuk berpikir kritis dan memecahkan masalah secara logika sederhana. Akibatnya, kemampuan bernalar mereka mungkin tidak berkembang secara optimal. “Jongkok berpikir”, mudah di manipulasi, di bodoh-bodohi orang lain, termasuk teman sebaya mereka.

Oleh karena terlalu sering di berikan jawaban yang siap pakai, anak-anak akan menjadi kurang terlatih untuk mencari solusi sendiri, dan mengembangkan kemampuan otak atas pengetahuan yang mereka dapat dari kreatifitas, kesalahan, kegagalan yang mereka alami.

Mereka hanya tahu bahwa ini boleh dan ini tidak. “Itu kata papa mama!”

 

Apa Solusi?

Apa solusi yang bisa kami berikan? Sebenarnya tidak ada untuk kamu si orang tua keras kepala. Karena jujur saja, kamu itu tidak lebih baik dari anakmu. Bedanya kamu itu lebih tua dan sok berkuasa saja. Jadi jika pun ada solusi yang jitu, tidak akan berhasil dan berguna untuk kamu.

Tapi,

Ada cara baik yang bisa menyadarkan kamu “si orang tua Strict” untuk berubah, atau paling tidak memperlakukan anak dengan lebih baik dan seimbang, sehingga kamu pantas untuk di peluk dan di rindukan oleh anak yang kamu asuh bagai tahanan.

Apa itu?

Ketahuilah bahwa:

 

1. Anak dan Orang Tua Adalah Manusia Biasa

Mereka manusia biasa, sama seperti kita. Apa yang kamu lakukan akan mereka contoh sebaik-baiknya. Berubahlah dari orang tua yang terlalu ketat menjadi orang yang asyik dan keren, walau memang benar itu membutuhkan kesabaran dan komitmen.

Mulailah dengan merenungkan alasan di balik pola asuh yang ketat. Apakah kamu khawatir akan keselamatan anak? Beri penjelasan ke mereka bahwa “Aku sebenarnya khawatir”. Atau Ingin anak mencapai kesempurnaan?

Dengan memahami akar masalah, kamu bisa mencari solusi yang lebih efektif.

 

2. Belajar Tentang Perkembangan Anak

Perkaya pengetahuan orang tua tentang tahapan perkembangan anak. Setiap usia memiliki karakteristik dan kebutuhan yang berbeda. Kecil, remaja, menuju dewasa, dan tua seperti kita. Dengan memahami tahap perkembangan anak, kamu bisa menyesuaikan pola asuh yang seimbang, tanpa berlaku berlebihan.

Mana yang harus, mana yang akan, dan kapan pula itu kita perbolehkan. Harus jelas, wooy! Semua dari mereka butuh penjelasan. Karena seperti diatas, kamu “sebagai orang tua”, dan dia “sebagai anak” adalah manusia biasa yang butuh penjelasan.

 

3. Bangun Komunikasi yang Terbuka

Ciptakan suasana yang aman bagi anak untuk mengungkapkan perasaan dan pikirannya. Sediakan waktu khusus untuk berinteraksi dengan anak tanpa gangguan, ciptakan suasana yang nyaman dan santai, serta yakinkan anak bahwa apa pun yang mereka rasakan atau pikirkan adalah valid dan kamu itu penting.

Kita benar-benar mendengarkan dengan “mengulang kembali apa yang mereka katakan.”

Kita juga memahami betapa sulitnya menjadi anak dengan segala aturan, meskipun kamu mungkin tidak selalu setuju. Jadilah orang yang dapat dipercaya untuk menjaga rahasia dan tidak akan menyalahkan mereka atas apa pun yang mereka ungkapkan.

 

4. Berikan Kepercayaan

Percayai kemampuan anakmu. Berikan mereka tanggung jawab yang sesuai dengan usia dan kemampuan mereka. Dengan memberikan kepercayaan, kita sejatinya memberikan pesan kepada anak bahwa kita yakin mereka mampu. Ini akan mendorong mereka untuk berusaha lebih keras dan mencapai potensi maksimalnya.

Mereka butuh dorongan orang tua untuk lebih semangat dan maju.

Percayamu adalah kekuatan bagi anak. Jadilah ‘supporter’ terbesar mereka, rayakan setiap keberhasilan, dan bantu mereka bangkit ketika mereka jatuh. Dengan dukunganmu, anak-mu akan tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri dan tangguh. Dan itu sebenar-benarnya kesuksesan.

 

5. Libatkan Anak dalam Pengambilan Keputusan

Sejak dini, libatkan anak dalam pengambilan keputusan yang menyangkut dirinya. Hal ini akan membuat mereka merasa di hargai dan memiliki kontrol atas hidup mereka. Misalnya, ketika akan pergi berlibur, libatkan anak dalam memilih destinasi atau aktivitas yang ingin mereka lakukan. “Mana neeeh yang lebih menantang, misalnya”

Dengan cara ini, mereka akan merasa lebih antusias dan bersemangat untuk mengikuti kegiatan. Dan juga, kita membantu anak belajar membuat keputusan kecil dan merasakan konsekuensi dari pilihan tersebut. Selain itu, sangat baik karena kita juga mengajarkan mereka untuk diskusi, dan menghargai pendapat orang lain.

 

6. Fokus pada Proses, Bukan Hasil

Jangan terlalu terpaku pada hasil akhir. Nikmati proses tumbuh kembang sang anak. Berikan pujian atas usaha mereka, bukan hanya pada hasil yang mereka capai. Saat anak belajar menggambar, misalnya, jangan hanya fokus pada apakah gambarnya bagus atau tidak.

Berikan apresiasi atas usaha yang mereka lakukan. Apapun itu!

Setiap anak tentu saja memiliki kecepatan dan cara melihat sesuatu itu berbeda dengan lainnya. Yang terpenting adalah mereka terus berusaha dan memberikan yang terbaik pada apa yang sedang mereka kerjakannya, dan bukan terbaik menurut kita si orang tua.

 

7. Belajar dari Kesalahan

Jangan takut untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf kepada anak. Hal ini akan mengajarkan mereka bahwa tidak ada manusia yang sempurna dan penting untuk belajar dari kesalahan. Dengan meminta maaf, kita menunjukkan kepada sang anak bahwa kita juga manusia biasa yang bisa melakukan kesalahan.

Kita memberikan contoh, sebagaimana manusia memberikan contoh kepada generasi sebelumnya, yaitu anak mereka, tentang: bagaimana menghadapi kegagalan dan tumbuh dari pengalaman. Ini adalah cara yang baik untuk mengajarkan pentingnya kejujuran, tanggung jawab, dan empati.

 

Strict Parents. Menjadi Polisi Rumah, Apakah Harus?

Menjadi orang tua yang terlalu ketat mungkin membuat anak merasa terkekang dan tidak bebas. Namun, terlalu memanjakan anak juga tidaklah cukup baik. Kuncinya adalah menemukan keseimbangan antara disiplin dan kasih sayang.

Dan ini katakan kepada mereka, "Ketika kamu mengalami masa-masa yang sulit, ketika semua teman-temanmu meninggalkanmu, dan kamu ingin menyerah, ingatlah kamu bisa menghubungi kami ‘orang tuamu’ kapan pun itu."

 

Salam Dyarinotescom.

 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama